“Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” (Yakobus 1:27)
Bacaan : Yakobus 1:19-27
Ibadah orang-orang Kristen di zaman para Rasul pada awalnya diadakan setiap hari di Bait Allah dan terutama di rumah-rumah jemaat secara bergilir (Kis. 2:46). Kesederhanaan merupakan ciri khas dari ibadah rumah tangga ini, yang bagian terbesar tata ibadahnya terdiri dari puji-pujian (Ef. 5:19; Kol. 3:16), dan ada juga doa, pembacaan Kitab Suci, dan penjelasannya. Selain itu, Perjamuan Kasih yang dilanjutkan dengan Perjamuan Tuhan atau Perjamuan Kudus (1 Kor. 11:23-28) juga merupakan acara penting dalam ibadah Kristen.
Penekanan ibadah Kristen adalah pada Roh Kudus, kasih batiniah dan kekhusyukan hati. Jadi, lebih bersifat batiniah ketimbang lahiriah, lebih bersifat sikap hati yang menyembah kepada Allah daripada segala ritual tata cara penyembahan lahirah. Hal ini sejatinya mengacu kepada ajaran Tuhan Yesus yang memang menekankan ibadah sebagai aboda atau latreia, ibadah yang melayani sesama (Mat. 5:23-24; Luk. 10:25-37).
Ibadah kepada Allah sesungguhnya adalah ibadah yang melayani sesama dengan kasih, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin ia mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20). Yakobus secara tegas menyatakan: “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” (ay. 27).
Ibadah yang murni atau ibadah yang sejati menurut Yakobus jelas merupakan aplikasi dari penjabarannya tentang bagaimana seharusnya orang-orang percaya hidup di dalam Tuhan. Orang-orang percaya harus hidup dalam kekudusan (ay. 19-21), yaitu hidup sebagai pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja (ay. 22). Oleh karena itu, Yakobus tanpa ragu menyatakan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” (ay. 26).
Jadi, ibadah yang sejati adalah ibadah yang melayani (ingatlah arti kata ibadah aboda dan kata Yunani latreia). Itulah sebabnya di dalam ibadah sesungguhnya kita dihimpun untuk diutus, diutus untuk menjadi berkat bagi sesama! Sudahkah kita menjadi berkat bagi sesama dalam keseharian kita? (Bo@)
“Ibadah Sejati Adalah Ibadah Yang Melayani Sesama”