Kilas Perjalanan


Kisah perjalanan GKI Karangsaru boleh dikatakan dimulai dengan datangnya sebuah badan misi Perkabaran Injil dari Jerman ke pesisir Jawa bagian utara pada akhir abad 19. Badan misi itu, “Neukirchener Mission Hause” atau lebih dikenal dengan nama Salatiga Zending, melakukan pekabaran Injil di sepanjang pesisir pantai utara Jawa, dari Tegal sampai Bojonegoro.
Dari kota – kota pesisir itu, Injil disebarkan lebih luas lagi ke Purwodadi, Blora, Pekalongan, Tegal, Salatiga, Ungaran dan tentu saja di kota Semarang. Selain melakukan Pekabaran Injil, badan misi inipun melakukan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan dengan mendirikan rumah sakit dan sekolah. Merekapun juga mendirikan gedung gereja untuk menampung jemaat hasil dari perkabaran Injil yang mereka lakukan.
Di Semarang sendiri, badan misi ini kemudian mendirikan sebuah gereja, Zendingkerk, yang terletak di jalan Mlatentiangwi 27 ( sekarang jalan Dr. Cipto 27, dan gereja tersebut sekarang digunakan oleh GKJ TU Semarang ). Uniknya, walaupun semula kebaktian di Zendingkerk hanya ditujukan untuk melayani penduduk pribumi yang telah percaya kepada Kristus di kota Semarang, tapi kemudian bergabung juga mereka yang berasal dari suku – suku lain, seperti Manado, Ambon, Batak, termasuk Tionghoa, yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sehari – hari mereka.
Dari kalangan keturunan Tionghoa yang mengikuti kebaktian saat itu hanya sedikit, berjumlah tak lebih dari 12 orang ( 7 wanita dan 5 pria ) dan itupun sebagian besar telah berusia lanjut. Walaupun demikian, diantara mereka ada seorang pemuda yang setia ikut dalam kebaktian dan pelayanan yang diadakan oleh Zendingkerk. Pemuda itu bernama S.H.Liem ( Liem Siok Hie ).


PERGUMULAN MENJADI JEMAAT MANDIRI ( 1917 – 1935 )

S.H. Liem adalah seorang pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan pendidikan Kristen yang ketat dan penuh kedisplinan. Maka tidaklah heran kalau semenjak kecil beliau sudah memiliki cita – cita untuk menjadi seorang Pekabar Injil, sebuah pekerjaan yang pada jaman itu dianggap sebagai pekerjaan yang aneh dan tidak lazim. Tapi justru semangat dan kerinduan melayani Tuhan yang berkobar – kobar itulah yang kemudian dilihat oleh para pekabar Injil dari Zending sehingga mereka kemudian mengangkat dan meneguhkannya sebagai Tua – Tua ( yang pertama dari keturunan Tionghoa ) dalam Majelis Gereja campuran Gereja Zending itu pada tanggal 27 Mei 1917.
Tidak berhenti di situ saja, selama 3 tahun selanjutnya, di sela – sela kesibukannya sebagai pegawai di sebuah perusahaan Belanda “Geowehry”, S.H. Liem kemudian mengambil pendidikan khusus Alkitab sore hari di Sekolah Alkitab Zending. Atas hasil kerja kerasnya itu, pada tanggal 6 Juni 1920, S.H.Liem diteguhkan sebagai “Lerend Ouderling” ( Tua – Tua Pengajar ). Sejak saat itulah, dengan semangat yang berkobar – kobar dan didasari kerinduan yang mendalam untuk memenangkan banyak jiwa bagi Tuhan, pemuda Liem mengerahkan segala waktu dan tenaganya untuk melakukan pekabaran Injil di kalangan keturunan Tionghoa, tidak terbatas di kota Semarang saja, tapi sampai ke kota – kota lain.
Sementara itu, sekitar tahun 1928-an, beredar gagasan di kalangan umat Tionghoa Kristen, terutama yang berada di Pulau Jawa, untuk mendirikan sebuat jemaat sendiri, dimana jemaat itu mandiri, berdiri, membiayai dan mengabarkan Injil sendiri. Oleh karena itulah, para tokoh Kristen keturunan Tiong Hoa dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur kemudian mengadakan konperensi I di Cipaku, Bogor, yang kemudian diikuti konperensi berikutnya. Akhirnya, setelah dilakukan pembahasan yang cukup panjang, maka pada konperensi III yang dilakukan di Batavia tahun 1930, diputuskan untuk mempersatukan jemaat – jemaat Kristen Tionghoa ke dalam sebuah organisasi yang bernama, “Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee”, yang kemudian digunakan sebagai nama gereja – gereja Kristen Tionghoa yang didirikan di seluruh Jawa.
Semangat mendirikan gereja Kristen Tionghoa yang mandiripun terbawa ke Semarang, Tapi sayangnya, pada tahun 1930-an itu, jumlah umat Kristen Tionghoa masih sangat kecil, itupun sebagian dari mereka telah berusia lanjut, sehingga belum memungkinkan untuk mendirikan sebuah jemaat yang mandiri. Untuk itulah, atas bantuan Khu Hwee ( Klasis ) Jawa Barat, dilakukan Kebaktian Kebangunan Rohani yang pertama di kota Semarang ( 11 – 12 Maret 1929 ) bertempat di Zendingkerk dan dilayani oleh Leland Wang, seorang penginjil muda dari Cina. Ternyata KKR ini banyak menggerakan hati orang untuk mengenal Tuhan.
Tidak berhenti di situ saja, pada tanggal 15 Desember 1931, S.H.Liem dibantu dengan Then Djin Soey, memprakarsai berdirinya “Perhimpunan Umat Kristen Tionghoa”, sebuah organisasi yang bertujuan sebagai wadah untuk mengumpulkan dan melakukan pembinaan rohani untuk orang – orang Tionghoa Kristen yang ada di kota Semarang. Perkumpulan inilah yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya jemaat GKI Karangsaru Semarang.
Masalah pertama yang harus dihadapi perkumpulan ini adalah sulitnya menemukan tempat untuk berkumpulnya umat, mengingat pada masa itu keluarga – keluarga Kristen tidak bersedia meminjamkan rumahnya untuk pelayanan PI, karena takut dengan golongan ethis Tionghoa non Kristen yang pada dasarnya membenci dan menentang keras ajaran agama Kristen.
Untuk mengatasi masalah itu, S.H. Liem kemudian menyediakan rumahnya di jalan Plampitan 31 untuk digunakan sebagai kegiatan PI dan pelayanan gereja lainnya, sehingga akhirnya pada tanggal 20 Juli 1932, di tempat itu dapat diadakan persekutuan doa yang pertama, yang kemudian menjadi kegiatan rutin setiap Kamis malam jam 6 sore. Pada tahun itu juga, S.H.Liem mengundurkan diri dari perusahaan “Geowehry”, agar dapat melakukan pelayanan dan pekabaran Injil yang lebih intensif ke kalangan Tionghoa Kristen di kota Semarang dan sekitarnya.
Selain mengadakan Persekutuan Doa di Plampitan, perkumpulan juga meminta kepada Salatiga Zending untuk diperbolehkan mengadakan kebaktian umum tersendiri pada hari Minggu, khusus untuk mereka yang berasal dari kalangan Tionghoa. Usulan ini kemudian disetujui oleh Salatiga Zending, dan kebaktian pertama diadakan pada tanggal 15 Pebruari 1934 jam 10 pagi.
Selanjutnya, Salatiga Zending mengundang pengurus perkumpulan untuk membicarakan tentang keinginan jemaat Tionghoa Kristen untuk mendirikan gereja sendiri yang mandiri. Banyak hal yang ditanyakan oleh pihak Salatiga Zending tentang kesiapan mereka dalam mendirikan gereja, dari masalah jumlah anggota keturunan Tionghoa yang berbakti di situ, tentang Peraturan Gereja yang akan didirikan, masalah pengerja ( Pendeta, Guru Injil, Majelis ), sampai dengan masalah administrasi dan pengelolaan keuangan gereja. Semuanya dijawab dengan jelas dan rinci oleh S.H.Liem dan Then Djin Soey yang datang sebagai wakil pengurus perkumpulan, dan ternyata jawaban – jawaban yang mereka berikan sangat memuaskan pihak Salatiga Zending.
Akhirnya, Salatiga Zending memutuskan untuk mendewasakan bakal jemaat Kristen Tionghoa Semarang pada kebaktian khusus tanggal 7 April 1935 di gereja Zendingkerk. Selain itu, pada kebaktian pendewasaan itu dilakukan juga pentahbisan Pendeta yang pertama atas diri Ds. Liem Siok Hie serta peneguhan anggota Majelis Jemaat yang pertama.
Peresmian berdirinya jemaat baru itu juga ditandai secara simbolik penyerahan 51 anggota keturunan Tionghoa ( 11 pria, 40 wanita ) dan 18 anggota baptisan ( 12 pria, 6 wanita ) dari Salatiga Zending kepada Ketua Perhimpunan Umat Kristen Tionghoa Semarang, sebagai jemaat baru yang resmi diberi nama : Gereja Kristen “Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee” Semarang

Ujian Bagi Jemaat Baru



Sebagai jemaat baru yang baru saja berdiri, ada banyak tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi oleh Tiong Hoa Kie Tok Kau Hwee (THKTKH) Semarang. Tantangan terus datang silih berganti, mengoncang iman setiap jemaat yang ada, tapi kasih Tuhan selalu menyertai dan memimpin langkah anak – anakNya, sehingga mereka dapat menghadapi setiap badai yang datang dengan pengharapan yang teguh. Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah belum adanya Peraturan Gereja (PG), yang mengatur kehidupan berjemaat, termasuk struktur organisasi dan pengelolaan administrasi dan keuangan. Selain itu, masih banyak jemaat ( termasuk Majelis Jemaat ) yang memiliki pengetahuan iman yang dangkal dan pemahaman yang kurang akan makna mendasar dari sebuah gereja. Oleh karena itu, dalam rapat Majelis Jemaat pertama, 29 April 1935, dirumuskan rancangan Peraturan Gereja (PG) yang secara garis besar mengatur 4 hal pokok, yaitu : jabatan – jabatan kegerejaan, persidangan / rapat gereja, azas pengajaran, sakramen dan upacara gerejawi, serta siasat gereja ( penggembalaan khusus ). Selain itu, dirumuskan juga liturgi kebaktian baru yang mulai dipakai pada Agustus 1935. Sementara itu, dalam rangka perkabaran Injil, dibentuk juga kegiatan sekolah minggu ( dimulai tahun 1936 ) dan perkumpulan kaum wanita gereja ( dimulai tahun 1937, kelak bernama Komisi Wanita Debora ). Masalah yang menghadang selanjutnya adalah munculnya kelesuan dan hilangnya semangat dalam kehidupan berjemaat di THKTKH Semarang (1938). Hal ini ditandai dengan merosotnya iman Kristen umat keturunan Tionghoa, dimana banyak dari mereka yang menjadi pasif, apatis dan kemudian meninggalkan gereja, baik yang terus terang ataupun dengan sembunyi – sembunyi. Hal ini makin diperparah dengan berkurangnya jumlah anggota Majelis Jemaat, disebabkan karena meninggal dunia, pindah pekerjaan ke luar kota, bahkan ada yang terkena kasus penggembalaan khusus ( dikarenakan yang bersangkutan mengikuti Saksi Yehova ). Tapi Tuhan tidak tinggal diam dan bertopang tangan melihat anak – anakNya dalam kelesuan dan kemunduran iman. Maka Tuhanpun mengirim seorang hamba-Nya, Ev. John Sung, seorang penginjil dari Cina untuk mengobarkan dan membangkitkan semangat kembali dalam jiwa anak – anakNya. Selama seminggu ( 19 sampai 26 Agustus 1939 ), John Sung membawakan KKR di kota Semarang dengan luar biasa dan membawa banyak pertobatan di kalangan Tionghoa ataupun suku – suku lainnya. Akibatnya, banyak orang Tionghoa yang kembali ke gereja dan hal ini membuat THKTKH kembali dipenuhi dengan jemaatnya.

Pembangunan Gedung Gereja di Karangsaru

Masalah berikut yang menghadang adalah, walaupun THKTKH sudah berdiri lebih dari 10 tahun, tapi belum juga memiliki gedung gereja sendiri. Untuk mengadakan kebaktian umum dan kegiatan pelayanan gereja lainnya, gereja masih harus meminjam gedung Gereja Zendingkerk di Mlatentiangwi 27 dan rumah Ds. Liem Siok Hie di jalan Plampitan 31. Padahal dengan berkembangnya jemaat yang ada dan jumlah pengunjung kebaktian yang semakin bertambah, maka mau tidak mau gereja harus memiliki gedungnya sendiri. Oleh karena itu, pada tahun 1947 Majelis Gereja membentuk Panitia Kerkbouwfonds ( Panitia Pembangunan Gereja ), dengan tugas mencari dan mengumpulkan dana untuk membangun gedung gereja sendiri. Menyadari bahwa gedung gereja “Zendingkerk” yang dimiliki oleh Salatiga Zending tidak mungkin dibeli, maka Panitia kemudian mencari sebidang tanah yang cukup untuk dibangun sebuah gereja di daerah Semarang Tengah ( mengingat di daerah itu banyak tinggal keturunan Tionghoa ). Dari sudut pandang manusia, pekerjaan ini sungguhlah berat, mengingat pada masa – masa itu Indonesia sedang dalam situasi perang kemerdekaan dan tentu saja, kondisi perekonomian juga sangatlah sulit. Tetapi, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan ! Ternyata Tuhan sendiripun turut bekerja dalam pembangunan gedung gereja-Nya. Pada tanggal 18 Pebruari 1948, tanpa pernah diduga sebelumnya, Panitia didatangi oleh 3 utusan resmi dari ‘De Javasche Bank’ ( sekarang Bank Indonesia ) yang menawarkan sebuah tanah milik Bank tersebut di tikungan jalan Karangsaru dan jalan Kapuran, tepatnya di depan Sekolah Nusaputera, dengan panjang 75 meter dan lebar 47 meter. Untuk gereja, tanah itu ditawarkan dengan harga khusus, f.8.– / M2. Selain itu, mereka juga menawarkan, jika tanah itu terlalu besar untuk dibeli, maka tanah itu boleh dibeli sebagian saja, asalkan sisanya tidak terlalu kecil untuk dibangun sebuah rumah. Pantia dan Majelis Gereja kemudian meninjau lokasi tanah tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membeli sebagian saja, yaitu : 40 x 47 M2. Jadi kalau tanah itu mau dibeli, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar : 40 x 47 M2 = 1880 M2 x @ f.8.– = f.15.040, ditambah dengan biaya balik nama, maka totalnya menjadi f.16.000. ( Enam belas ribu rupiah ). Jumlah yang sangat besar untuk waktu itu, dan itupun harus dibayar dalam waktu satu bulan. “Darimana kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu ?”, begitulah kebimbangan yang muncul di hati para panitia dan Majelis Jemaat.\ Tapi sekali lagi, Tuhan menunjukkan kasih setia-Nya dan selalu menyediakan apa yang dibutuhkan oleh anak – anakNya. Tuhanpun menggerakkan hati para jemaatNya untuk membantu membeli tanah tersebut dengan apa yang mereka punya, menurut kerelaan hati masing – masing. Selain itu, Panitia juga mendapat bantuan dana dari Perkumpulan Kaum Wanita Kristen “Debora”, dari hasil bazaar dan fancy fair yang mereka lakukan di halaman gereja Zendingkerk pada bulan Januari dan Oktober 1948. Dan sekali lagi, Tuhan menunjukkan kasih setia-Nya. Dana yang terkumpul tidak saja cukup untuk melunasi pembelian tanah tersebut, tapi juga dapat digunakan untuk membantu biaya pembangunan gedung gereja. Olah karena itu, segera dimulailah pembangunan gedung gereja, dengan diawali peletakan batu pertama oleh Ds. Liem Siok Hie pada tanggal 20 Agustus 1950. Dengan susah payah dan penuh ketekunan, akhirnya pembangunan gedung gereja di Jalan Karangsaru tersebut dapat diselesaikan dalam waktu hampir 2 tahun. Dan akhirnya, pada tanggal 3 September 1952 dilakukan peresmian gedung gereja THKTKH Semarang di jalan Karangsaru tersebut, yang dihadiri oleh Wakil Walikota Semarang, Ka. Bimas Kristen Kanwil Kodya Semarang, Camat Semarang Tengah, utusan dari berbagai gereja serta ratusan jemaat THKTKH Semarang. Bersamaan dengan peresmian gedung itu, ditabhbiskan juga pendeta kedua THKTKH Semarang dalam diri Guru Injil Tan Kiem Liong ( Ds. Sulaiman Budipranoto ). Dengan diresmikannya gedung gereja THKTKH Semarang, maka mulai minggu pertama September 1952, kebaktian THKTKH Semarang yang dulunya meminjam gedung Zendingkerk, dipindahkan ke Karangsaru, dengan jam kebaktian jam 06.00 dan 09.00 pagi.

Dari THKTKH Menjadi GKI

Sejak pertama kali gagasan mendirikan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee digulirkan di konferensi tokoh Kristen Tionghoa di Bogor, jelaslah bahwa THKTKH sedari semula memang dikhususkan untuk melayani dan melakukan pekabaran Injil bagi orang – orang keturunan Tionghoa saja. Tapi sering berubahnya jaman, terutama dengan kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang utuh dan berdaulat, maka hal ini menempatkan keturunan Tionghoa pada sebuah tataran baru dalam kehidupan mereka di tengah kemajemukan masyakarat. Oleh karena itu, mau tidak mau gereja THKTKH harus berpikir lebih dewasa dalam menempatkan dirinya di tengah – tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sesuai dengan keputusan Sidang Synode GKI Jawa Tengah ke-6 di Purwokerto ( 17 – 20 September 1956 ), maka akhirnya sejak tanggal 1 Me1 1957 nama Gereja Kristen “THKTKH” Semarang diganti menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Semarang Karangsaru. Dengan perubahan nama ini, maka GKI Semarang Karangsaru tidak perlu merasa dirinya sebagai unsur asing di negerinya sendiri. Justru sebaliknya, hal ini akan memberi makna positif kepada Gereja, yaitu mulai adanya sikap keterbukaan dari Gereja, baik dalam hubungan dengan Gereja-gereja lain, maupun di dalam beberapa segi kehidupan sendiri, termasuk terbukanya keanggotan gereja bagi mereka yang berasal dari suku – suku lain. Jemaat Yang Bertumbuh dan Berbuah Pada tahun – tahun selanjutnya, Tuhan terus memberkati dan memimpin langkah jemaat GKI Semarang Karangsaru dalam pelayanan dan pekabaran Injil, sehingga makin banyak jiwa – jiwa baru yang dimenangkan bagi Kristus, yang kemudian masuk dalam kehidupan jemaat. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan jemaat yang menggembirakan ini harus diikuti dengan penambahan tempat kebaktian dan fasilitas pelayanan gerejawi lainnya. Selain itu, secara organisatoris, Gereja juga harus mengalami perubahan dan penyempurnaan, sehingga dapat melayani jemaat yang makin bertambah itu dengan efektif dan efisien. Dalam hal penambahan tempat kebaktian, maka pada tahun 1962, atas kemurahan Tuhan, Majelis Jemaat berhasil membeli sebuah rumah di daerah Semarang Selatan, yaitu di Jalan Peterongan 310 ( sekarang Jl. Kompol Maksum 310 ). Pemugaran dan pembangunan gedung gereja itu dilaksanakan secara bertahap dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1966. Peresmian gedung gereja sendiri dilakukan dalam kebaktian khusus tanggal 31 Oktober 1966 bertepatan dengan hari Reformasi. Sementara itu, Kebaktian Pemuda ( Jeugdienst ) yang diadakan sejak awal tahun 1951 di lantai dasar Balai Pertemuan Kristen ( Jl. Bojong 51 ) telah diresmikan menjadi kebaktian umum pada bulan Juni 1953. Karena dari hari ke hari, pengunjung kebaktian semakin bertambah banyak, maka Majelis Jemaat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat yang lebih permanen dan luas untuk mengadakan kebaktian. Dengan berkat Tuhan, maka tahun 1968 Majelis Gereja dapat membeli gedung dan tanah di Jalan Beringin 15 (sekarang Jl. Kapten Pierre Tendean 15). Setelah dipugar seperlunya, maka diresmikan perpindahan dari Jl. Bojong 51 dan pemakaiannya dalam kebaktian tanggal 24 Desember 1969 bertepatan dengan hari Natal. Dalam hal organisatoris, GKI Karangsaru Semarang yang sudah menjadi besar akhirnya mengadakan pembagian wilayah kerja ( rayonisasi ). Secara administratif sejak 1 Juli 1969, jemaat dibagi dalam tiga rayon, yaitu rayon I Karangsaru meliputi wilayah pusat kota Semarang dipimpin Ds. Zacharia W. Susetya, rayon II Beringin meliputi wilayah Semarang Tengah ke Barat dan Utara dipimpin Ds. Soelaiman B. dan rayon III meliputi wilayah Semarang Tengah ke Selatan dan Timur dipimpin oleh Ds. Samuel Dharmahatmaja S.Th. Dengan demikian dimulailah suatu babak baru dalam sejarah GKI Karangsaru Semarang, yaitu desentralisasi yang bertujuan utama untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada Jemaat dengan cara kerja yang lebih efektif dan efisien. Pendewasaan GKI Beringin dan Peterongan dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 1987 jam 17.00 melalui Kebaktian Pendewasaan bertempat di GKI Karangsaru. Kebaktian dipimpin oleh Pdt. Zacharia W.S. ditandai dengan penyerahan sebuah Alkitab besar, berkas-berkas keanggotaan Jemaat dan anak kunci kepada wakil Majelis Jemaat kedua Gereja tersebut.

Buah Pekabaran Injil



Oleh karena kesetiaan dan ketekunan jemaat THKTKH Semarang, maka Tuhan tidak saja memberkati dan menumbuhkan jemaat yang ada di Kota Semarang, tetapi juga mempercayakan anak – anakNya yang berada di luar Kota Semarang, terutama dari keturunan Tionghoa, untuk dibina dan dilayani oleh THKTKH Semarang. Palayanan dan pekabaran Injil THKTKH Semarang di luar kota dimulai dengan bergabungnya orang – orang Tionghoa Kristen di Tegal menjadi ‘kring’ ( cabang ) THKTKH Semarang di akhir 1944, yang kemudian didewasakan menjadi Gereja THKTKH Tegal pada tanggal 12 Agustus 1952. Selanjutnya, disusul bergabungnya jemaat Tionghoa Kristen di Pekalongan pada tahun 1949 menjadi cabang THKTKH Semarang, yang kemudian didewasakan dengan nama “GKI Pekalongan” pada tanggal 19 April 1957. Pelayanan PI kemudian dilakukan di daerah sekitar Kendal pada tahun 1958, yang dimulai dari sebuah persekutuan rumah tangga di Weleri dan kemudian berlanjut di Pelelen. Dengan melalui banyak rintangan dan kesulitan untuk mendirikan sebuah jemaat yang mandiri, akhirnya di kedua tempat tersebut dapat didewasakan menjadi GKI Weleri dan GKI Pelelen, pada tanggal 1 September 1989. Penaburan benih – benih Injil ini kemudian dilanjutkan hingga kota – kota Juana, Rembang dan Lasem, yang akhirnya didewasakan menjadi GKI Rembang dan GKI Lasem pada tanggal 13 Agustus 1973. Di dalam kota sendiri, sesuai dengan perkembangan pemukiman yang ada di kota Semarang, maka pada awal tahuan 1980-an dimulailah mendirikan pos PI di perumahan Genuk Indah, yang kemudian didewasakan pada tanggal 6 Juni 1995 dengan nama GKI Genuk Indah. Selanjutnya, bersama GKI Peterongan, membangun pos PI baru di perumahan Taman Majapahit untuk melayani perkembangan jemaat ke arah timur Semarang di tahun 1990-an, yang kemudian didewasakan pada tanggal 8 Agustus 2001. Untuk terus melanjutkan tugas panggilan pekabaran Injil ini, maka dibentuklah Satgas PI pada tahun 1996 ( sebagai tindak lanjut dari pelayanan ke Sumatra dan Kalimantan ), yang difokuskan pada pelayanan dan pekabaran Injil pada masyarakat luas ( non anggota jemaat gereja ), terutama bagi masyarakat kecil yang membutuhkan perhatian dan bantuan, seperti : pemulung, tukang becak, dan gereja – gereja kecil di pedesaan. Selain melakukan pekabaran Injil di berbagai tempat itu, maka GKI Karangsaru juga mendirikan beberapa kegiatan pelayanan masyarakat ( yang kemudian berkembang menjadi bentuk Yayasan ), yaitu : Yayasan Sekolah Kristen Indonesia ( YSKI ) dan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran “Dian Wacana” yang memfokuskan diri dalam pelayanan pendidikan, Yayasan Pelayanan Kematian “Arimatea”, Yayasan Poliklinik Siloam dan Yayasan Maria Martha ( panti Wreda ).
  • 7 April 1935

    Berdirinya Gereja Kristen “Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee” ( THKTKH ) Semarang, dan peneguhan pendeta pertama dalam diri Ds. Liem Siok Hie
  • 16 Maret 1936

    Diresmikan penggunaan tempat ibadah di jalan Plampitan 31 Semarang, untuk digunakan sebagai tempat PDRT setiap kamis malam dan tempat kebaktian tiap minggu sore.
  • 1 April 1936

    Dimulainya kegiatan Sekolah Minggu yang pertama di THKTKH Semarang
  • 10 Juni 1938

    Berdirinya Perkumpulan Wanita Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Semarang ( kelak menjadi Komisi Wanita “DEBORA” GKI Karangsaru )
  • 10 Maret 1941

    Berdirinya Perkumpulan Pemuda THKTKH Semarang, yang diberi nama : “Chung Hua Chi Tuh Chiao Tsing Nien Pu” ( kelak menjadi Komisi Pemuda GKI Karangsaru )
  • 31 Mei 1945

    Pentahbisan Ds. Then Djien Soey sebagai pendeta kedua THKTKH Semarang
  • 20 Agustus 1950

    Peletakan batu pertama menandai dimulainya pembangunan gedung gereja di jalan Karangsaru 2.
  • 12 Agustus 1952

    Pendewasaan Gereja THKTKH Tegal yang semula adalah cabang dari THKTKH Semarang.
  • 3 September 1952

    – Peresmian gedung gereja THKTKH di jalan Karangsaru 2. – Pentabisan guru Injil Ds. Tan Kim Liong ( Ds. Sulaiman Budipranoto ) sebagai pendeta THKTKH Semarang.
  • 17 April 1957

    Pendewasaan GKI Pekalongan yang semula adalah cabang dari THKTKH Semarang ( GKI Semarang Karangsaru ).
  • 1 Mei 1957

    THKTKH Semarang berubah nama menjadi GKI Semarang Karangsaru, sesuai dengan hasil Sidang Synode GKI Jawa Tengah ke-6 di Purwokerto.
  • 7 Mei 1957

    Pentahbisan Ds. Liem Tjiauw Liep sebagai pendeta GKI Semarang Karangsaru.
  • 14 Oktober 1959

    Pentahbisan Ds. Goei Yong Lioe sebagai pendeta GKI Semarang Karangsaru
  • 6 Juni 1963

    Pentahbisan Pdt. Zacharia W. Susetya ( Ds. Ie Hok Kwan ) sebagai pendeta GKI Semarang Karangsaru
  • 24 November 1964

    Pentahbisan Pdt. Samuel Dhartmaatmaja ( Ds. Nyoo Liang Sing ) sebagai pendeta GKI Semarang Karangsaru
  • 31 Oktober 1966

    Peresmian gedung gereja GKI Semarang Rayon III di jalan Peterongan 310 ( sekarang Kompol Maksum 310, GKI Peterongan Semarang ).
  • 1 Juli 1969

    Dimulainya proses desentralisasi ( pembagian kerja secara administratif ) GKI Semarang menjadi 3 rayon, yaitu : Rayon I Karangsaru, Rayon II Beringin dan Rayon III Peterongan.
  • 24 Desember 1969

    Peresmian gedung gereja GKI Semarang Rayon II di Jalan Beringin 15 ( sekarang Pierre Tendean 15, GKI Beringin Semarang ).
  • 26 Maret 1974

    Diresmikan berdirinya Seksi kematian “Arimatea” dari GKI Semarang Karangsaru ( sekarang Yayasan Arimatea ) yang bertujuan membantu proses pemakaman bagi anggotanya yang meninggal dunia dan memberi santuan kepada keluarga yang ditinggalkan.
  • 17 Juli 1978

    Dibukanya poliklinik ‘Siloam’ di kompleks gedung gereja, untuk melayani masyarakat sekitar gereja yang membutuhkan pengobatan.
  • 31 Oktober 1978

    Pentahbisan Pdt. Benyamin Susilo menjadi pendeta GKI Semarang, dengan fokus pelayanan di Rayon I Karangsaru
  • 15 Desember 1981

    Peresmian penggunaan kembali balai Immanuel ( 2 lantai ), setelah dipugar kembali
  • 11 Mei 1982

    Pentahbisan Pdt. Timothy SHD sebagai pendeta GKI Semarang, dengan fokus pelayanan di Rayon II Beringin
  • 12 November 1982

    Dimulainya persekutuan khusus untuk mereka yang berusia lanjut, yang kemudian menjadi Komisi Warga Senior.
  • 29 September 1986

    Pentahbisan Pdt. Andreas Gunawan Prijono sebagai pendeta GKI Semarang, dengan fokus pelayanan di Rayon II Beringin.
  • 6 Februari 1987

    Pendewasaan rayon II Beringin menjadi GKI Beringin dan rayon III Peterongan menjadi GKI Peterongan Semarang.
  • 1 September 1989

    Pendewasaan GKI Weleri dan GKI Pelelen, yang semula adalah pos PI dari GKI Karangsaru
  • 30 November 1992

    Pentahbisan Pdt. Johannes Lie sebagai pendeta GKI Karangsaru
  • 12 Januari 1993

    Kebaktian emiritasi atas diri Pdt. Zacharia W. Susetya setelah melayani di GKI Karangsaru selama 30 tahun.
  • 6 Juni 1995

    Pendewasaan pos PI di wilayah Genuk Indah, dengan nama GKI Genuk Indah
  • 12 April 1999

    Pentahbisan Pdt. Natan Kristiyanto sebagai pendeta GKI Karangsaru
  • 8 Agustus 2001

    Pendewasaan pos PI di wilayah Majapahit Semarang ( hasil kerjasama dengan GKI Peterongan ), dengan nama GKI Taman Majapahit.
  • 25 Januari 2010

    Peneguhan Pdt. Anna Johan sebagai pendeta GKI Karangsaru

Eh bien, la solution au virus e-mail produits Cialis Original versé ses victimes numérotées la version cyberpunk des courants peut être réduite à cela et mAGNESIE SAN PELLEGRINO ANISÉE effervescent. La recherche de cellules Citrate est un groupe soudain efficace de médicaments présents dans Sildenafil en ligne.